Kasus Hukum Di Indonesia

KASUS 1
Sesosok jenazah ditemukan di Danau Kenanga Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis 26 Maret 2015. Pada tas yang menempel di tubuh korban, ditemukan sejumlah batu ukuran besar yang diduga sengaja dijadikan pemberat agar korban tenggelam ke danau.
 
Evakuasi jenazah berlangsung dramatis dan mengejutkan orang–orang yang berada di lokasi kejadian. 

Polisi belum menyimpulkan secara pasti apakah jasad tersebut korban pembunuhan atau bukan. Guna mengungkap penyebab kematian korban, polisi langsung melakukan olah TKP, serta mengumpulkan keterangan dari sejumlah saksi mata yang melihat.

Polisi sempat kesulitan mengidentifikasi identitas jenazah tersebut karena keterbatasan data-data yang didapatkan. Kemudian, Selasa 31 Maret 2015, Kepala Kantor Humas dan KIP UI Rifelly Dewi Astuti memastikan, bahwa jenazah itu ternyata seorang mahasiswa UI mahasiswa semester IV Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI, Jurusan Biologi bernama Akseyna Ahad Dori (18). 

Menurut Rifelly, UI menyerahkan kasus ini kepada kepolisian, termasuk mencari tahu apakah ada indikasi pembunuhan dalam kasus ini.

"Pengusutan kasus inin akan terus dilakukan kepolisian. UI akan terus mendukung dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kejadian ini," tutur Rifelly.

Curhatan Sebelum Tewas

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul mengungkap,  Akseyna sempat cerita kepada ibunya, Januari lalu, bahwa dia merasa kecewa karena sebagai juara regional Olimpiade Biologi tidak diikutkan ke tingkat nasional.

Akseyna juga sempat menuliskan sebuah pesan di atas kertas. Pesan itu ditulis dalam bahasa Inggris yang bunyinya, "Will not return for please don’t search for existence my apologies for everything eternally."

Identitas Akseyna terungkap setelah orangtua korban datang dari Yogyakarta dan mendatangi Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, pada Senin, 30 Maret 2015. 

Akseyna memang tergolong pintar. Alumnus SMA Negeri 8 Yogyakarta ini memiliki prestasi akademik di bidang biologi dengan menjadi peserta Olimpiade Sains Nasional di Manado pada 2011. Tahun selanjutnya, Akseyna mengikuti kejuaraan yang sama di Jakarta dan menduduki peringkat ke-28 nasional.

Orangtua Akseyna memastikan bahwa yang meninggal dengan cara tak wajar itu adalah anaknya setelah mendatangi Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Keluarga ini juga mengecek tempat kos Akseyna di Wisma Widiya 208, Jalan Kabel Tegangan Tinggi, Beji, Depok. Polisi masih menyelidiki apakah Akseyna tewas dibunuh atau bukan.

Di rumah sakit, orangtua mengenali Akseyna dari bentuk batang hidung dan wajah. Ayah korban meyakini bahwa payung dan kaus milik anaknya yang ditunjukkan polisi adalah barang yang dibelikan ibunya. 

"Sedangkan saputangan yang dibawa korban adalah milik ayahnya," kata terang Martinus.

KASUS 2
Kasus pembunuhan terhadap janda berusia 26 tahun, Deudeuh Alfi Sahrin yang terjadi di sebuah kosan di Tebet, Jakarta Selatan, masih dalam penyelidikan Polsek Tebet. Tim penyidik saat ini sedang mengejar dua orang tamu yang sempat menemui korban sebelum terjadi peristiwa pembunuhan. Menurut Kompol I Ketut Sudarma, Kapolsek Tebet ketika ditemui, Selasa (14/04/2014) mengatakan, “Calon tersangka pembunuhan Deudeuh sudah mengerucut menjadi dua orang, dan saat ini kami masih dalami,”
Ketut pun enggan menyebutkan ketika ditanya siapa nama kedua tamu tersebut. “Kami belum dapat menginformasikan namanya, akan tetapi jejaknya telah diketahui, dan akan kami telusuri,” jelasnya. Ketut juga belum dapat menyimpulkan motif dari pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku. Tapi ia memastikan, nama kedua orang tersebut tidak disebutkan dalam buku harian yang telah dikantongi polisi dari olah TKP (tempat kejadian perkara). “Kedua orang ini tidak ada di dalam buku harian,” ucap Ketut. Seperti yang diketahui, di lokasi kejadian penyidik telah menemukan sebuah alat kontrasepsi.
Penyidik pun mengamankan kabel, kaus kaki, serta bed cover, sebagai alat bukti. Karena kekurangan oksigen, akhirnya korban pun tewas. Diduga pelaku membunuh korban dengan menjerat leher janda cantik beranak satu itu memakai kabel. Sementara mulutnya disumpal dengan kaus kaki. Deudeuh merupakan salah seorang warga Bojong Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Ia ditemukan tewas di kamar kosnya di Jalan Tebet Timur, Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, pada Sabtu (11/04/2015).
  
Kasus 3
Pasca eksekusi mati 6 terpidana kasus narkoba muncul berbagai polemik dan pro-kontra tentang keputusan  hukuman tembak mati pada minggu dini hari (18/1/15). Lima terpidana dieksekusi di Nusakambangan dan satu terpidana di Boyolali.
Pemerintah Belanda dan Brasil menarik duta besarnya sebagai bentuk protes keras terhadap putusan hukuman mati yang diberlakukan terhadap warganegaranya.Ang Kim Soei (62) WN belanda dan Marco Archer Cardoso Mareira (53) WN Brasil. Sedang Malawi, Nigeria dan Vietnam tidak melakukan hal serupa walau terdapat warganegaranya yang mendapatkan hukuman mati.
Eksekusi mati pada minggu dini hari   lalu bukan yang terakhir, ini baru gelombang pertama . Masih ada 64 terpidana mati kasus narkoba yang masih mengajukan grasi pengampunan kepada presiden.Masih ada gelombang berikut. Karena masih ada gelombang berikut , ada 2 terpidana mati  asal Australia yang terkenal dengan sebutan Bali Nine. Istilah Bali Nine menjadi terkenal karena ada sembilan orang WN Australia (Andrew Chan, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tan duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, Martin Stephens, Myuran Sukumaran) yang tertangkap dalam kasus penyelundupan 8,3 Kg heroin . Dua orang terpidana mati itu adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang dijatuhi hukuman mati. Grasi Myuran sudah ditolak presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2014 sedang permohonan  grasi Andrew Chan masih dalam proses.Bisa jadi dua terpidana mati asal Australia itu akan menjadi terpidana berikut yang akan dieksekusi. Media Australia dan Pemerintah Australia mulai merasa gerah dan terus melakukan upaya pembebasan agar dua warganegaranya  tak dihukum mati. Banyak media dan sebagian warganegara Australia menyalahkan pihak Australia Federal Police (AFP) yang mau bekerja sama dan menyerahkan data intelijen kepada kepolisian Indonesia. Hal yang tidak mereka duga adalah hukum bagi pengedar, penyelundup  narkoba di Indonesia adalah hukuman mati. Salah satu ayah terpidana  Bali Nine menyalahkan AFP yang tidak menangkap para terpidana ketika sampai di Australia dan malah meminta kepolisian Indonesia menangkap mereka di bandara Ngurah Rai Bali pada  17 April 2005.
Lima terpidana tertangkap di Bandara Ngurah Rai dan empat yang lain tertangkap di sebuah Bungalows di pantai Melasti dekat pantai Kuta. Ketika tertangkap di bandara empat orang tertangkap tangan membawa paket heroin yang dikemas dalam plastik dan ditempel ditubuh mereka masing masing. Hanya Andrew Chan yang tertangkap tidak  membawa heroin di tubuhnya. Namun Chan terbukti sebagai pengatur rencana penyelundupan heroin senilai A$ 4 juta. Chan terbukti membagikan kartu SIM  kepada seluruh anggotanya untuk saling kontak dan  bertugas mengumpulkan heroin setibanya di Australia.  Penggerekan di Bungalow di pantai Melasti , didapati 350 Gram Heroin.
Berkat Informasi dari Kepolisian Federal Australia (AFP)
Keberhasilan kepolisian Indonesia menggulung kelompok Bali Nine berkat informasi intelijen yang diberikan pihak kepolisian Federal Australia. Seminggu sebelum penangkapan, pihak kepolisian Australia memberikan nama, nomor paspor dan informasi penting yang berkaitan dengan hubungan antar kelompok pengedar narkoba internasional.
Maka seminggu penuh kepolisian Indonesia melakukan pengintaian dan pengawasan secara ketat. Hingga pada 17 April 2005 . Chan,Czugaj, Rush, Stephens dan Lawrence tertangkap di Bandara Ngurah Rai sedang Nguyen, Sukumaran, Chen dan Norman tertangkap di Bungalow di Pantai Melasti.
Dalam fakta persidangan pada tanggal  26 April 2006 terungkap Andrew Chan merekrut delapan orang sebagai kurir narkoba dengan tawaran uang senilai A$10,000 hingga A$15,000 sekali melaksanakan tugas. Walau dalam pengakuan terpidana lain hanya menerima A$ 5,000 .
Proses Peradilan Yang Panjang
Tertangkapnya sembilan WN Australia mungkin melegakan pihak AFP karena tugas mereka berhasil. Namun ketika proses hukum mulai berjalan pada 11 Oktober 2005 di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.Tiga terpidana yang tertangkap di Bungalow  Melasti , Nguyen, Chen dan Norman diadili secara bersamaan. Sedang enam terpidana yang lain diadili secara terpisah. Ketika itu proses pengadilan sering kali batal dan tertunda karena terdakwa  sering beralasan sakit.
Pemerintah Australia ketika itu PM John Howard menentang keras pidana mati. Berkali kali pemerintah Australia meminta tidak diterapkannya  hukuman mati pada sembilan terdakwa WN Australia tersebut. Sayangnya permintaan pemerintah Australia tak mempengaruhi hakim Indonesia yang memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman mati pada dua orang.
Usaha mengekstradisi sembilan terdakwa Bali Nine pernah diupayakan pengacara Australia,Robert Richter dan Brian Walters pada tanggal 6 Desember 2005 dengan meminta dukungan Direktur Penuntut Umum Commonwaelth. Namun hal tersebut segera dijawab dengan tegas Pengadilan Negeri Denpasar, Hakim I Wayan Yasa Abadhi yang menolak secara tegas ikut campurnya Australia pada proses peradilan di Indonesia. Berikut kutipan Hakim I Wayan Yasa Abadhi:
“Kritik dari luar diperbolehkan, tapi pengadilan Indonesia hanya akan mematuhi hukum yang berlaku di negara ini dan itu termasuk hukuman mati, Para Hakim tidak akan mengalah, kita tidak akan terpengaruh oleh opini publik  atau media “
Pernyataan ini langsung disampaikan sehari setelah ada upaya mengekstradisi sembilan terdakwa Bali Nine.
Saling Tuduh dan Saling Mencari Selamat.
Sembilan terdakwa Bali Nine selain sering beralasan sakit juga mulai mengaku mendapat ancaman pembunuhan dari Andrew Chan bila tak mau menjadi kurir narkoba. Lawrence dan Stephens memberikan bukti dan foto keluarga mereka yang mendapatkan ancaman pembunuhan kepada pengadilan Denpasar. Namun hal itu tak mempengaruhi sikap hakim dan tidak ditemukan bukti  ancaman yang akan membahayakan keluarga  mereka di Australia. Sementara Sukumaranmengaku mengidap amnesia sehingga kehilangan banyak ingatan ketika terjadi penangkapan . Maka diadakan pengujian atas penyakit amnesia yang dideritaSukumaran.Pada Januari 2006 , putusan hakim terhadap Lawrence adalah hukuman seumur hidup walau jaksa penuntut umum hanya menuntut 20 tahun penjara berkat kerjasamanya kepada polisi Indonesia.Sedang Sukumaran dituntut hukuman matioleh jaksa penuntut umum (JPU) . Jaksa menemukan bukti peran Sukumaran yang membantu mengkoordinasikan penyelundupan heroin termasuk mengikat heroin ke badan empat terdakwa lainnya.Polisi Indonesia juga mengakui peran utama Sukumaran dalam usaha penyelundupan heroin. Walau diawal penangkapan nama Sukumaran tak terdapat dalam laporan intelijen AFP dan polisi Indonesia menganggap Sukumaran sebagai pengawal Chan selama di Bali.
Pada 26 Januari 2006 Andrew Chan juga dituntut hukuman mati karena perannya yang menjadi pemain utama. Pada tanggal 14 Februari 2006 terjadi insiden penyerangan terhadap fotografer dan pelemparan botol air kepada pendemo di luar gedung pengadilan oleh Sukumaran.
Reaksi rakyat di Australia termasuk reaksi PM John Howard atas keputusan hukuman mati membuat suasana cukup memanas. Apalagi beberapa rakyat Australia mengaitkan hukuman mati  dua terpidana Bali Nine dengan keputusan pengadilan Indonesia terhadap Abu bakar Ba’ashir yang menvonis ringan padahal menurut media dan rakyat Australia, Abu Bakar Ba’asyir ikut bertanggung jawab pada peristiwa Bom bali satu pada tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 jiwa dan 88 orang diantaranya  adalah WN Australia. Padahal pada tahun 2008, Pelaku bom bali 1, Amrozi CS  tewas ditangan regu tembak di Nusakambangan dalam eksekusi hukuman mati.


KASUS 4
Masih lekat dalam ingatan, saat ledakan bom mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002. Ratusan orang menjadi korban pada malam nahas itu. Tiga rangkaian pengeboman sekaligus itu kemudian dikenal dengan peristiwa Bom Bali I.

Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan kembali mengguncang Bali. Pada pukul 23.15 WITA, bom meledak di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. 

Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. 

Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.

Saat itu, untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia ikut diterjunkan untuk identifikasi jenazah. 

Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kilogram dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika Serikat menggunakan jenis TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.

Pemerintah yang saat itu dipegang oleh Megawati Soekarnoputri terus mendesak polisi untuk menuntaskan kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberideadline, kasus harus tuntas pada November 2002.

Pada 5 November 2002, salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di rumahnya di di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Sedangkan, 10 orang yang diduga ikut terkait juga ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah Rai.

Lalu, lima hari kemudian, Amrozi membeberkan lima orang yang menjadi tim inti peledakan. Ali Imron, Ali Fauzi, Qomaruddin adalah eksekutor di Sari Club dan Paddy's. Sementara M Gufron dan Mubarok menjadi orang yang membantu mempersiapkan peledakan. Polisi pun memburu Muhammad Gufron (kakak Amrozi), Ali Imron (adik Amrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain dari ibu kandung Amrozi). Kakak tiri Amrozi, Tafsir. Tafsir dianggap tahu seluk-beluk mobil Mitsubishi L-300 dan meminjamkan rumahnya untuk dipakai Amrozi sebagai bengkel.

Saat namanya disebut-sebut ikut terlibat dalam peristiwa berdarah itu, Abu Bakar Baasyir membantah. Ba'asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di Polda Jatim merupakan rekayasa pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika Serikat.

Imam Samudra, Idris dan Dulmatin diduga merupakan perajik bom Bali I. Bersama Ali Imron, Umar alias Wayan, dan Umar alias Patek, mereka pun ditetapkan sebagai tersangka.

Kemudian pada 26 November 2002, Imam Samudra, satu lagi tersangka bom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia di kapal Pelabuhan Merak. Rupanya dia hendak melarikan diri ke Sumatera. Tim Investigasi Bom Bali I pun berhasil mengungkap mastermind bom Bali yang jumlahnya empat orang, satu di antaranya anggota Jamaah Islamiah (JI).

Ali Gufron alias Muklas (kakak Amrozi) menyusul ditangkap di Klaten, Jawa Tengah. Selanjutnya, sejumlah tersangka satu per satu ditangkap, termasuk sejumlah wanita yang diduga merupakan istri para tersangka.

KASUS 5
Pengeboman di Bali 2005 adalah sebuah pengeboman seri yang terjadi di bali pada tanggal 1 oktober 2005. Tragedi tiga pengeboman, satu di kuta dan dua dijimbaran,dengan sedikit nya 23 orang tewas dan 196 lain nya luka - luka. Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme Indonesia melaporkan kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini jelas merupakan "pekerjaan kaum teroris", namun dikedokin dengan pengeboman bunuh diri,

Tragedi bom bunuh diri ini menyandang ciri - ciri khas serangan jaringan Teroris Jamaah Islamiyah sebuah organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaida yang telah melakukan pengeboman di hotel marriott,jakarta pada tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di jakarta pada tahun 2004 dan pengeboman Bali 2002. Kelompok teroris islamis memiliki ciri khas melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan seperti pada 11 september 2001.
Dalam peristiwa tersebut, Dr. Azahari, buronan asal Malaysia yang diduga merupakan orang yang membuat bom dalam dua kali pengeboman di Bali, tewas ditembak polisi.
Kemudian pada hari yang sama di Semarang, dilakukan penyergapan dan perburuan di tempat persembunyian buronan lainnya, Noordin M. Top. Di situ, polisi menemukan sejumlah barang bukti milik para pelaku Bom Bali 2005, di antaranya rekaman kesaksian ketiga pelaku bom bunuh diri di Bali dan dua kartu tanda penduduk milik dua pelaku pemboman tersebut. Dalam rekaman video tersebut, salah seorang pelaku mengatakan bahwa perbuatan yang mereka lakukan akan membawa mereka masuk surga,(surga dari hongkong). Rekaman kaset tersebut lalu digunakan untuk mencocokkan wajah pelaku dengan kepala para pengebom yang ditemukan di lokasi pengeboman.




Previous
Next Post »